https://www.box.com/s/bb4rmtecvqedbsjivr94

Jumat, 09 Oktober 2015

Lima Tradisi Unik Suku Osing



Desa Wisata Adat Osing Kemiren

Indonesia memiliki ribuan suku bangsa yang menyebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa itu memiliki adat istiadat dan tradisi yang sampai kini masih dilaksanakan. Di Jawa Timur, tepatnya di Banyuwangi ada satu suku bangsa yang memiliki adat istiadat yang unik dan tiada duanya yaitu Suku Osing. Suku Osing atau biasa diucapkan Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai "Wong Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Meskipun berada di Pulau Jawa namun kebudayaan Suku Osing mempunyai perbedaan yang signifikan dengan Suku Jawa. Sebaliknya, Suku Osing malah mempunyai kedekatan dan kemiripan budaya dengan Suku Bali. Hal ini tak lepas dari sejarah awal munculnya Suku Osing yang terjadi akibat jatuhnya Kerajaan Majapahit. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam yang pesat membuat Majapahit jatuh dan orang-orang Majapahit kemudian mengungsi ke beberapa tempat yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali.
Kata "Osing" dalam bahasa Osing sendiri bisa diartikan "tidak", sehingga ada anekdot yang mengkisahkan tentang keberadaan orang Osing itu sendiri, ketika orang asing bertanya kepada orang Banyuwangi apakah kalian orang Bali atau orang Jawa? Mereka menjawab dengan kata "Osing" yang artinya tidak keduanya.
Desa Wisata Adat Osing Kemiren

Jika Anda pergi ke Banyuwangi maka jangan lewatkan kesempatan untuk melihat secara langsung keunikan tradisi Suku Osing di Desa Wisata Adat Osing Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Di Desa Kemiren terdapat perkampungan asli warga Suku Osing yang memiliki berbagai tradisi dan ritual unik yang masih terpelihara hingga sekarang.

Tradisi Tumpeng Sewu

 
Tumpeng Sewu

Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan Agama Islam menyebar dengan cepatnya di kalangan suku Osing. Itulah sebabnya kenapa tradisi unik Suku Osing merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan Islam.
Dalam bahasa Jawa, Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Dalam tradisi ini setiap keluarga mengeluarkan minimal satu buah tumpeng, sedangkan kepala keluarga di Desa Kemiren berjumlah sekitar 1.052 orang. Maka tak heran jika disebut Tumpeng Sewu karena bisa jadi keluarga yang berkecukupan akan mengeluarkan lebih dari satu tumpeng.
Tradisi Tumpeng Sewu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki yang telah mereka terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu diyakini sebagai selamatan tolak balak yang akan menghindarkan warga Desa Kemiren dari segala bencana dan penyakit yang mematikan. Tumpeng Sewu juga dilaksanakan untuk menghormati datangnya Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji.
Sebagaimana nasi tumpeng pada umumnya, Tumpeng Sewu berbentuk kerucut yang mempunyai filosofi bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Yang khas dari Tumpeng Sewu adalah menu Pecel Pithik yaitu ayam panggang yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu tertentu. Pecel Pithik akronim dari kalimat: “Ngucel-ucel barang sithik” yang artinya mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.

Tradisi Mepe Kasur

Tradisi Mepe Kasur

Tradisi Mepe Kasur ini masih satu rangkaian dengan Tradisi Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam harinya, maka Mepe Kasur dilakukan dari pagi hingga siang hari. Dalam bahasa Jawa Mepe Kasur artinya menjemur kasur. Masyarakat Osing meyakini salah satu sumber penyakit berasal dari kasur, oleh sebab itu kasur-kasur harus dijemur di halaman rumah agar sumber penyakit itu mati terkena sinar matahari.
Yang unik dari Tradisi Mepe Kasur ini adalah warna kasurnya. Semua kasur milik warga Desa Kemiren berwarna abang cemeng. Dalam bahasa Osing abang artinya merah dan cemeng artinya hitam. Semua kasur di Desa Kemiren memang sengaja dibungkus dengan kain berwarna hitam dengan tepian berwarna merah. Keseragaman ini dimaksudkan sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.
Tradisi Mepe Kasur

Uniknya lagi, saat pelaksanaan Tradisi Mepe Kasur semua warga menjemur kasurnya secara bersamaan mulai dari jam tujuh pagi hingga matahari tenggelam. Maka jangan heran manakala melihat pemandangan unik di Desa Kemiren menjelang Hari Raya Idul Adha yaitu di kanan dan kiri jalan berderet ratusan kasur dengan warna yang seragam: abang cemeng.
Setiap warga Desa Kemiren yang baru menikah pasti memiliki kasur abang cemeng. Warna cemeng dimaksudkan untuk menolak bala atau sial, sedangkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tangganya langgeng hingga maut memisahkan.

Selametan Sedekah Lebaran

  
Selametan Sedekah Lebaran


Tradisi Selametan Sedekah Lebaran merupakan wujud syukur atas kemenangan warga Desa Kemiren yang telah berhasil menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tujuan diadakannnya selametan ini agar seluruh keluarga diberi keselamatan saat unjung-unjung (silaturahmi) di hari lebaran. Selain itu juga, warga Desa Kemiren mengirimkan doa bagi para leluhur yang sudah meninggal.
Dalam Selametan Lebaran ini masyarakat melakukannya secara berkelompok dengan kerabat atau tetangga yang berjumlah antara 10-20 orang. Secara bersama-sama mereka akan mengunjungi setiap rumah anggota dengan bergantian. Di setiap rumah mereka akan berdoa untuk para leluhur dan untuk keselamatan keluarga tuan rumah dalam merayakan Idul Fitri.
Letak keunikan dari tradisi ini adalah selesai berdoa mereka harus menyantap hidangan yang telah disediakan oleh tuan rumah. Bisa dibayangkan, jika anggota kelompok selametannya berjumlah 20 orang maka mereka harus makan sebanyak 20 kali juga. Tentu perut kita tidak akan muat jika diharuskan makan penuh hingga 20 kali, untuk menyiasatinya maka hidangan yang dimakan biasanya hanya kerupuk atau buah-buahan saja. Jadi hanya sebagai syarat saja bahwa mereka telah mencicipi hidangan yang telah disediakan tuan rumah.

Tradisi Mengunyah Sirih (Nginang)

Tradisi Nginang

Nginang adalah mengunyah sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur. Tradisi nginang atau mengunyah sirih ini sudah sulit kita temui pada masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun di Desa Kemiren, tradisi nginang ini masih banyak yang melakukannya, meskipun terbatas di kelompok usia lanjut saja. Tradisi Nginang sendiri hanya boleh dilakukan oleh wanita yang sudah menikah, dengan kata lain nginang bisa menjadi penanda apakah seorang wanita sudah mempunyai pasangan hidup atau belum.
Yang membuat unik, setiap tahun diadakan lomba nginang bagi para warga Desa Kemiren. Tujuan diadakan lomba nginang adalah untuk melestarikan tradisi nginang di kalangan masyarakat desa Kemiren. Hal ini dilator belakangi fakta bahwa kegiatan nginang sudah nyaris hilang di kalangan anak muda. Maka tidak  heran jika pesertanya adalah nenek-nenek berusia di atas 50 tahun yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.
Lomba Nginang Kemiren

Dalam lomba nginang tersebut,  para nenek duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia untuk menunggu giliran tampil di panggung. Nenek-nenek penjaga tradisi itu memakai baju terbaiknya yaitu jarik dan kebaya. Setiap peserta membawa tempat kinang dari rumah. Tempat kinang biasanya terbuat dari kuningan atau kayu yang berukir indah.
Kriteria penilaian didasarkan pada kepiawaian para nenek ketika meracik dan mengunyah sirih sambil melakukan wangsalan atau berbalas pantun, menari atau nembang. Tentu dibutuhkan kemampuan multitasking yang mumpuni untuk melakukan itu semua.

Tradisi Koloan

Bagi anak-anak Suku Osing di Desa Kemiren yang akan khitan atau sunat wajib menjalani ritual khusus yang disebut Koloan. Koloan artinya jebakan. Ritual Koloan dilaksanakan untuk mempersiapkan mental karena biasanya seorang anak merasa takut kalau disunat.
Dalam tradisi Koloan, sang anak yang akan menjalani khitan harus ditetesi darah ayam yang dipimpin oleh pemimpin ritual. Dengan bertelanjang dada, si anak duduk di atas kursi kayu kecil, di depannya disajikan beberapa sesaji. Sang pemimpin ritual lalu mengucapkan doa dalam Bahasa Osing sambil mengusapkan bedak di wajah si anak.
Setelah itu seekor ayam jago warna merah disembelih. Ayam yang dipakai tidak boleh sembarangan, bulunya harus berwarna merah dan belum pernah kawin. Darah segar yang keluar dari leher ayam kemudian diteteskan di atas kepala si anak hingga ayamnya mati. Setelah itu pemimpian ritual akan mengusapkan pitung tawar pada kepala si anak. Pitung tawar terbuat dari beras dan kunir, tujuannya agar si anak mempunyai kekebalan dari segala jenis penyakit dan marabahaya.

Kemudian si anak dibawa ke sungai dan dimandikan oleh pemimpin ritual. Ketika berjalan ke sungai, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang sudah menjalani ritual Koloan dipercayai tidak lagi merasa takut saat akan disunat.


Menurut salah satu pemimpin ritual Koloan, Sanusi Marhaedi , menyembelih ayam merupakan simbolisasi pengorbanan seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan  meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan. Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan bersama di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel pithik yang dihadiri oleh para tetangga.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar