Indonesia memiliki ribuan suku
bangsa yang menyebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa itu
memiliki adat istiadat dan tradisi yang sampai kini masih dilaksanakan. Di Jawa
Timur, tepatnya di Banyuwangi ada satu suku bangsa yang memiliki adat istiadat
yang unik dan tiada duanya yaitu Suku Osing. Suku Osing atau biasa diucapkan
Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai "Wong
Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di
Kabupaten Banyuwangi.
Meskipun berada di Pulau Jawa namun kebudayaan
Suku Osing mempunyai perbedaan yang signifikan dengan Suku Jawa. Sebaliknya,
Suku Osing malah mempunyai kedekatan dan kemiripan budaya dengan Suku Bali. Hal
ini tak lepas dari sejarah awal munculnya Suku Osing yang terjadi akibat
jatuhnya Kerajaan Majapahit. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan
Islam yang pesat membuat Majapahit jatuh dan orang-orang Majapahit kemudian
mengungsi ke beberapa tempat yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger),
Blambangan (Suku Osing) dan Bali.
Kata "Osing" dalam bahasa
Osing sendiri bisa diartikan "tidak", sehingga ada anekdot yang
mengkisahkan tentang keberadaan orang Osing itu sendiri, ketika orang asing
bertanya kepada orang Banyuwangi apakah kalian orang Bali atau orang Jawa? Mereka
menjawab dengan kata "Osing" yang artinya tidak keduanya.
Jika Anda pergi ke Banyuwangi maka
jangan lewatkan kesempatan untuk melihat secara langsung keunikan tradisi Suku Osing
di Desa Wisata Adat Osing Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Di Desa
Kemiren terdapat perkampungan asli warga Suku Osing yang memiliki berbagai
tradisi dan ritual unik yang masih terpelihara hingga sekarang.
Tradisi Tumpeng Sewu
Pada awal terbentuknya masyarakat
Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit.
Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan Agama Islam menyebar dengan
cepatnya di kalangan suku Osing. Itulah sebabnya kenapa tradisi unik Suku Osing
merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan Islam.
Dalam bahasa Jawa, Tumpeng Sewu
artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Dalam tradisi ini setiap keluarga
mengeluarkan minimal satu buah tumpeng, sedangkan kepala keluarga di Desa Kemiren
berjumlah sekitar 1.052 orang. Maka tak heran jika disebut Tumpeng Sewu karena bisa
jadi keluarga yang berkecukupan akan mengeluarkan lebih dari satu tumpeng.
Tradisi Tumpeng Sewu dilaksanakan
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki yang telah
mereka terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu diyakini sebagai
selamatan tolak balak yang akan menghindarkan warga Desa Kemiren dari segala bencana
dan penyakit yang mematikan. Tumpeng Sewu juga dilaksanakan untuk menghormati
datangnya Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji.
Sebagaimana nasi tumpeng pada
umumnya, Tumpeng Sewu berbentuk kerucut yang mempunyai filosofi bentuk
pengabdian kepada Sang Pencipta. Yang khas dari Tumpeng Sewu adalah menu Pecel
Pithik yaitu ayam panggang yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu
tertentu. Pecel Pithik akronim dari kalimat: “Ngucel-ucel barang sithik” yang
artinya mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.
Tradisi Mepe Kasur
Tradisi Mepe Kasur ini masih satu
rangkaian dengan Tradisi Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam
harinya, maka Mepe Kasur dilakukan dari pagi hingga siang hari. Dalam bahasa
Jawa Mepe Kasur artinya menjemur kasur. Masyarakat Osing meyakini salah satu
sumber penyakit berasal dari kasur, oleh sebab itu kasur-kasur harus dijemur di
halaman rumah agar sumber penyakit itu mati terkena sinar matahari.
Yang unik dari Tradisi Mepe Kasur
ini adalah warna kasurnya. Semua kasur milik warga Desa Kemiren berwarna abang
cemeng. Dalam bahasa Osing abang artinya merah dan cemeng artinya hitam. Semua
kasur di Desa Kemiren memang sengaja dibungkus dengan kain berwarna hitam
dengan tepian berwarna merah. Keseragaman ini dimaksudkan sebagai lambang
kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.
Uniknya lagi, saat pelaksanaan
Tradisi Mepe Kasur semua warga menjemur kasurnya secara bersamaan mulai dari
jam tujuh pagi hingga matahari tenggelam. Maka jangan heran manakala melihat pemandangan
unik di Desa Kemiren menjelang Hari Raya Idul Adha yaitu di kanan dan kiri
jalan berderet ratusan kasur dengan warna yang seragam: abang cemeng.
Setiap warga Desa Kemiren yang baru
menikah pasti memiliki kasur abang cemeng. Warna cemeng dimaksudkan untuk
menolak bala atau sial, sedangkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam
rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah
tangganya langgeng hingga maut memisahkan.
Selametan Sedekah Lebaran
Tradisi Selametan Sedekah Lebaran
merupakan wujud syukur atas kemenangan warga Desa Kemiren yang telah berhasil
menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tujuan diadakannnya selametan
ini agar seluruh keluarga diberi keselamatan saat unjung-unjung (silaturahmi)
di hari lebaran. Selain itu juga, warga Desa Kemiren mengirimkan doa bagi para
leluhur yang sudah meninggal.
Dalam Selametan Lebaran ini
masyarakat melakukannya secara berkelompok dengan kerabat atau tetangga yang
berjumlah antara 10-20 orang. Secara bersama-sama mereka akan mengunjungi
setiap rumah anggota dengan bergantian. Di setiap rumah mereka akan berdoa
untuk para leluhur dan untuk keselamatan keluarga tuan rumah dalam merayakan
Idul Fitri.
Letak keunikan dari tradisi ini
adalah selesai berdoa mereka harus menyantap hidangan yang telah disediakan
oleh tuan rumah. Bisa dibayangkan, jika anggota kelompok selametannya berjumlah
20 orang maka mereka harus makan sebanyak 20 kali juga. Tentu perut kita tidak
akan muat jika diharuskan makan penuh hingga 20 kali, untuk menyiasatinya maka
hidangan yang dimakan biasanya hanya kerupuk atau buah-buahan saja. Jadi hanya
sebagai syarat saja bahwa mereka telah mencicipi hidangan yang telah disediakan
tuan rumah.
Tradisi Mengunyah Sirih (Nginang)
Nginang adalah mengunyah sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur.
Tradisi nginang atau mengunyah sirih ini sudah sulit kita temui pada masyarakat
perkotaan di Indonesia. Namun di Desa Kemiren, tradisi nginang ini masih banyak
yang melakukannya, meskipun terbatas di kelompok usia lanjut saja. Tradisi
Nginang sendiri hanya boleh dilakukan oleh wanita yang sudah menikah, dengan
kata lain nginang bisa menjadi penanda apakah seorang wanita sudah mempunyai
pasangan hidup atau belum.
Yang membuat unik, setiap tahun diadakan lomba nginang bagi para warga
Desa Kemiren. Tujuan diadakan lomba nginang adalah untuk melestarikan tradisi
nginang di kalangan masyarakat desa Kemiren. Hal ini dilator belakangi fakta
bahwa kegiatan nginang sudah nyaris hilang di kalangan anak muda. Maka tidak heran jika pesertanya adalah nenek-nenek
berusia di atas 50 tahun yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.
Dalam lomba nginang tersebut, para
nenek duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia untuk menunggu giliran
tampil di panggung. Nenek-nenek penjaga tradisi itu memakai baju terbaiknya
yaitu jarik dan kebaya. Setiap peserta membawa tempat kinang dari rumah. Tempat
kinang biasanya terbuat dari kuningan atau kayu yang berukir indah.
Kriteria penilaian didasarkan pada kepiawaian para nenek ketika meracik
dan mengunyah sirih sambil melakukan wangsalan atau berbalas pantun, menari
atau nembang. Tentu dibutuhkan kemampuan multitasking yang mumpuni untuk
melakukan itu semua.
Tradisi Koloan
Bagi anak-anak Suku Osing di Desa Kemiren yang akan khitan atau sunat wajib
menjalani ritual khusus yang disebut Koloan. Koloan artinya jebakan. Ritual Koloan
dilaksanakan untuk mempersiapkan mental karena biasanya seorang anak merasa takut
kalau disunat.
Dalam tradisi Koloan, sang anak yang akan menjalani khitan harus
ditetesi darah ayam yang dipimpin oleh pemimpin ritual. Dengan bertelanjang
dada, si anak duduk di atas kursi kayu kecil, di depannya disajikan beberapa
sesaji. Sang pemimpin ritual lalu mengucapkan doa dalam Bahasa Osing sambil
mengusapkan bedak di wajah si anak.
Setelah itu seekor ayam jago warna merah disembelih. Ayam yang dipakai tidak
boleh sembarangan, bulunya harus berwarna merah dan belum pernah kawin. Darah
segar yang keluar dari leher ayam kemudian diteteskan di atas kepala si anak hingga
ayamnya mati. Setelah itu pemimpian ritual akan mengusapkan pitung tawar pada kepala
si anak. Pitung tawar terbuat dari beras dan kunir, tujuannya agar si anak
mempunyai kekebalan dari segala jenis penyakit dan marabahaya.
Kemudian si anak dibawa ke sungai dan dimandikan oleh pemimpin ritual.
Ketika berjalan ke sungai, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan
melintang di tanah. Bagi anak yang sudah menjalani ritual Koloan dipercayai tidak
lagi merasa takut saat akan disunat.
Menurut salah satu pemimpin ritual Koloan, Sanusi Marhaedi , menyembelih
ayam merupakan simbolisasi pengorbanan seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi
Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat
nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain
itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan
lancar dan tidak ada halangan. Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan bersama
di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel pithik
yang dihadiri oleh para tetangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar