Air Mata Terakhir Bunda
Doa ibu adalah
segala hal bagi anak-anaknya. Ibu adalah tuhan kecil dengan ketulusan
cintanya. Dia tak pernah mengharapkan balasan apa-apa dari anak-anaknya.
Baginya tugasnya hanyalah memberi dan memberi. Mengandung, melahirkan,
menyusui, merawat, membesarkan hingga menghantarkan anaknya menjadi
manusia yang berguna adalah kewajiban dari cinta yang Tuhan titipkan
padanya (hal 8)
Itulah gambaraan
seorang ibu dimata penulis produktif asal Surabaya, Kirana ‘Key’ Kejora.
Di novelnya yang ke 9 ini Key mengisahkan bagaimana doa, ketulusan,
kasih sayang, dan kegigihan seorang ibu
yang dalam kemiskinannya mampu melewati getirnya hidup dengan tegar
hingga anak-anaknya dapat meraih cita-cita dan impiannya.
Novel
yang diadaptasi dari kisah nyata ini menceritakan perjalanan hidup
seorang anak bernama Delta yang dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu
mencintainya. Sriyani, ibu dari Delta dan Iqbal adalah seorang single parent yang harus berjuang membesarkan kedua anak laki-lakinya. Suaminya meninggalkannya begitu saja dan menikah kembali dengan wanita lain sementara hubungannya dengan Sriyani dibiarkannya menggantung tanpa status yang jelas.
Sementara
suaminya hidup berkecukupan dengan wanita lain, Sriyani tertatih-tatih
membesarkan kedua anak lelakinya. Walau hidup dalam kekurangan Sriyani
pantang meminta bantuan dari suaminya yang meninggalkannya. Untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan membiayai sekolah kedua anaknya ia
menjadi buruh cuci setrika sambil berjualan lontong kupang, makanan khas kota lumpur Sidoarjo yang ia jajakan sendiri dengan sepeda tuanya.
Walau
hidup dalam kemiskinan namun Sriyani mendidik Delta dan Iqbal untuk
tidak meratapi kemiskinan mereka. Ia tidak ingin melihat anaknya sedih
dalam kemiskinan, dalam setiap kesempatan ia
selalu menekankan pada kedua anaknya bahwa kemiskinan bukanlah petaka
yang harus diratapi, tetapi harus dihadapi dengan bekerja dan bekerja.
Berbagai
kesulitan hidup menerpa kehidupan mereka namun bagi Sriyani kemiskinan
bukan halangan untuk membahagiakan anak-anaknya. Baginya dia selalu
berusahan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya dengan sederhana dan
apa adanya. Dari ketegaran, kekuatan doa, dan cinta seorang ibu yang
dahsyat inilah Delta tumbuh dan bersekolah hingga ke jenjang perguruan
tinggi. Ketika gelar kesarjanaannya diraihnya, keinginannya terbesarnya
adalah mempersembahkan gelarnya pada ibunya yang begitu mencintainya
tanpa pamrih.
Di
novel setebal 204 halaman ini pembaca akan diajak menyusuri kehidupan
Delta dan ibunya. Kisah-kisah yang dihadirkan dalam setiap babnya
merupakan mozaik kehidupan keluarga ini yang harus bergelut dengan
kemiskinan untuk bertahan hidup. Dan ketika seluruh bab dalam novel ini
selesai kita baca maka akan terbentuklah sebuah lukisan indah akan
betapa agungnya ketulusan cinta seorang ibu pada anak-anaknya.
Walau menceritakan sebuah keluarga miskin namun novel yang juga mengambil setting terjadinya bencana lumpur Lapindo ini bukan novel yang cengeng, walau berjudul Air Mata Terakhir Bunda tidak ada kisah tangisan dalam novel ini karena seperti yang diungkapkan Delta tentang ibunya dalam novel ini
"Ibu
tidak pernah menangis di depan kami, kalaupun ingin menangis, ibu hanya
menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah, agar tangisnya tak
terdengar oleh kami, anak-anak yang selalu dikuatkan dengan kata-kata...
jangan
pernah menjual kesedihan dan tangismu hanya untuk masa depan, karena
masa depan adalah rancangan, kehidupan adalah sekarang, hadapi!
Novel
ini bukan novel yang bertangis-tangisan tetapi novel ini sanggup
membuat haru pembacanya melalui dialog-dialog antar tokohnya. Selain itu
novel ini juga menyampaikan
pesan kehidupan tentang ketegaran sebuah keluarga yang tidak menyerah
pada keadaannya dan ketulusan cinta dan pengorbanan seorang ibu yang
tentunya akan menginspirasi kita semua.
Diluar kisah Delta dan ibunya, novel ini juga memberikan beberapa hal yang menambah wawasan pembacanya yaitu uraian
kronologis mengenai penyebab terjadinya tragedi lumpur lapindo,
kearifan lokal dari legenda misteri Candi Pari (candi purba di
Siring-Porong), sejarah komedi putar pertama di dunia, hingga lontong
kupang yang merupakan makanan khas kota lumpur Sidoarjo.
Sebagai
sebuah novel yang mengangkat kisah perjuangan dan pengorbanan seorang
ibu saya rasa novel ini berhasil mengungkapkan gambaran betapa
dahsyatnya kekuatan doa dan cinta sejati seorang ibu pada anak-anaknya,
hanya saja yang agak disayangkan novel ini saya rasa kurang memberi
gambaran yang dramatis tentang tragedi lumpur Lapindo yang merupakan
bagian dari setting kisah di novel ini.
Dampak
tragedi lumpur Lapindo memang terungkap dalam novel ini, namun yang
diangkat adalah orang-orang diluar tokoh utamanya, lalu bagaimana dengan
dampaknya bagi keluarga Sriyani? Rasanya tragedi ini seolah tak terlalu
menyentuh kehidupan Sriyani dan keluarganya. Seperinya akan lebih
dramatis jika tragedi ini menyentuh langsung kehidupan keluarga Sriyani
sehingga tokoh Sriyani dan keluarganya dapat mewakili bagaimana
menderitanya rakyat kecil akibat bencana yang saat ini masih terus
berlangsung namun ironisnya sudah sudah mulai dilupakan orang.
Terlepas
dari hal diatas novel ini tampaknya cukup berhasil menarik minat
pembacanya, promo novel yang dilakukan secara gencar di berbagai kota
dan sosial media berbuahkan hasil yang menggembirakan. Setelah 3 minggu
beredar di toko-toko buku sebanyak 5000 ekslempar, novel ini dikabarkan
siap untuk dicetak ulang. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk novel
yang diterbitkan secara indie ini. Kabar terakhir, novel ini juga telah
dipesan oleh sebuah BUMN untuk mendukung program yang berkaitan dengan
keluarga.
Akhir kata, semoga dengan
semakin banyaknya orang yang membaca novel ini, kegigihan, ketabahan,
kesabaran , dan doa seorang ibu dapat mengguhak kesadaran pembacanya
untuk selalu menghargai peran seorang ibu sebagai pribadi istimewa yang
dipercayakan oleh Tuhan untuk melahirkan dan membesarkan generasi penerus pewaris bumi ciptaanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar