https://www.box.com/s/bb4rmtecvqedbsjivr94

Selasa, 22 September 2015

THE LAST FIRST LOVE

Cerpen Cinta 2 

Saat pandangan pertama, tepat pada saat aku rasakan getaran yang kau getarkan tepat pada jantung hatiku. Sinar matamu yang indah kau pancarkan tepat pada bola mataku.. Aku Mutia, ya namaku. Saat itu,, Terlambat, ya kegiatan terlambat atau lebih populer disebut “kesiangan” memang sudah menjadi rutinitasku datang ke sekolah dan duduk di kelas XI IA 3 dengan waktu yang relatif siang, walau gak siang-siang banget sih..
Waktu itu, ku berlari tiga perempat mati. Kutelusuri koridor sekolahku. Jantung ku dag dig dug tak menentu. Cukup satu hal yang membuat ku bisa seperti itu, yaitu kesiangan.
“Tuk…tuk…tuk...” langkah kaki ini makin cepat untuk menuju sebuah ruangan yang kuanggap penuh dengan kesesakan di dalamnya. Kulirik jam tangan calvin klein yang kulilitkan di tangan kiriku.
“Ya ampuunn.. udah jam 7.. aduh bisa kena marah bu diane ini guee” , gumamku dalam hati sambil tak henti-hentinya kaki ini berlari menuju kelas.
Aku pun makin menambah kecepatan lariku tanpa perduli siapa pun yang ada di koridor. Namun tiba-tiba aku pun bertabrakan dengan seseorang yang membuat buku-buku yang kupeluk jatuh berserakan kemana-mana. Aku memang ga tau dia datang dari mana tapi yang jelas dia datangnya dari arah yang berlawanan
“Brukk.. Aduhhhh.!!” Teriakku kepada sesosok cowok yang kukenal dan ternyata itu Dyo, seorang kapten futsal yang cukup popular di sekolahku.
Tubuhnya proposional kulitnya putih dengan hidung yang mancung serta rambut yang sedikit berponi menambah kesan maskulin pada dirinya. Pantas aja banyak cewek di sekolahku yang naksir ke dia. Aku pun bimbang harus berbuat apa.
“Eh,kalo jalan tuh pake mata dong!”, omel ku kepadanya “Dih gw jalan pake kaki ya, lagian juga siapa coba yang ga jelas lari-larian” balas dia sinis.
Jujur, ucapannya tadi membuat nyali ku makin ciut. Aku tau memang aku yang salah, lari-larian ke kelas supaya ga kena omelan bu Diane yang saat itu ia mau mengambil nilai ulangan harian bab Disintegarsi Bangsa. Aku juga sebenarnya malu dengan tindakan ku tadi yang terbilang tidak sopan tapi karena sudah terlanjur, ya sudah aku memberanikan diri untuk menentangnya.
“Yaudah bantuin kek, minta maaf kek. Apa kek..! Liat tuhh buku gue pada jatuh kan nih ahh!!” bentak ku padanya sambil merapikan buku-buku ku yang berserakan di lantai koridor sekolah.
“Lah kenapa gue harus minta maaf coba, jelas yang salah tuh elo ya. Gue lagi jalan nyantai tiba-tiba lo lari-larian ga jelas gitu”. Kata dia dengan nada kesal
Perkataannya barusan makin menyudutkanku. Kulihat jam di tanganku, tak terasa udah jam 07.15. Duhh gawaaatt, gara-gara cowok ini aku jadi makin kesiangan sampai di kelas nanti. Akhirnya aku pun memutuskan untuk segera lekas pergi meninggalkannya dengan muka tanpa dosa.
“Ishh, dasar aneh, gila!” aku mendengar ucapan itu dari mulutnya “bleeeee…” aku membalasnya dengan menjulurkan lidah ku dan berlari meninggalkannya.
***
Rasa yang aneh muncul dalam hatiku. Entah darimana datangnya rasa itu, sangat sulit untuk bisa kuartikan di malam yang penuh dengan taburan bintang di angkasa. Angin lembut yang menerpa kulit ini, malah membuat ku semakin tidak bisa memejamkan mata. Aneh, sedang kurasakan dalam otak teraduk dengan berjuta lamuanku akan sosok yang menabrakku tadi. Semakin kucoba untuk melepas memori yang tadi ku alami, justru bayang-bayang itu semakin hadir dalam pelukan hangat mimpiku dengan berjuta kesunyian. Kesal dan senang, mungkin itu gambaran suasana hatiku di malam ini ketika ku mengingat sosok cowok yang menabrakku tadi. Hal yang pasti kurasa malam ini adalah beban pikiran ku akan Dyo.
Terasa banyak teroran yang masuk ke iPhone 5 putih milikku. Entah siapa itu, aku juga tak mengetahuinya, apalagi menebaknya. Hanya ribuan bahkan jutaan pertanyaan yang bertumpuk di memori otakku. Siapa siapa dan siapa orang yang tiap hari menggangguku dengan ratusan sms ini. Kata-kata penuh mutiara itu membuat mata dan hati ini gundah tak menentu. Hari demi hari sms yang masuk makin membuatku penasaran. Berkali-kali sudah ku bertanya siapa dirinya. Namun, dia hanya menjawab “First Time”. Aku pun bingung sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
Senja ini aku lebih memilih untuk sekedar menikmati langit sore yang indah di tengah hiruk pikuknya ibukota. Lebih tepatnya aku duduk di sebuah ayunan taman yang berada di kompleks rumahku. Suasananya indah, cukup sepi. Tidak seperti biasanya yang ramai dengan anak-anak kompleks yang bermain di situ. Saat ini hanya ada segelintir anak kecil yang sedang asik mengejar kupu-kupu yang menghiasi taman. Namun suasana ini cukup cocoklah dengan kondisi hatiku saat ini. Inilah saat yang tepat untuk menenangkan hati dan pikiran yang cukup rumit. Kupejamkan mata seraya membiarkan angin berhembus menerpa setiap helai rambutku dengan lantunan mesra lagu-lagu klasik yang ku dengar melalui headset dari iPhone 5 ku. Diriku pun terbuai olehnya membuat ku semakin menghayal entah kemana. Hayalanku pun semakin tidak menentu, dan membuatraga ini melayang dalam angan-angan bersama hangatnya sebuah pertemuan akan cinta pertama dalam bayang-bayang imipian yang melanglangbuana entah kemana. Yang ada di pikiranku saat ini adalah sesosok pemain futsal populer.
Semua khayalanku membuyar ketika getaran tanda sms datang dari iPhone ku. Kubuka...ternyata dari orang yang selalu meneror ku rupanya.
<tanpa nama>
Lo penasaran gue siapa?
<mutia>
Y
<tanpa nama>
Temuin gue besok di taman kota jam 16.00
Aku tak menjawab smsnya lagi. Bagiku sudah cukup jelas bahwa besok aku harus datang kesana untuk menjawab pertanyaanku selama ini.
***
“Tim futsal sekolah kita akan berlaga pada pertandingan futsal se-Pulau Jawa” kata-kata itu kudengar dari speaker sekolah yang ada di kelasku. Mendengar hal itu, aku pun menghentukan aktivitas tanganku yang sedang menulis.
“Berarti sekarang dia maen dong, moga kamu menang ya Dyo” doa ku dalam hati, kemudian aku melanjutkan menulis.
Dilapangan, aku melihat rombongan tim futsal segera bersiap-siap menuju mobil sekolah. Sepertinya mereka hendak berangkat. Pukul 9.40, pagi sekali pikirku pertandingannya. Mata ku dan mata Dyo pun saling bertumpu pada satu titik fokus. Aku mencoba tersenyum ramah, tapi dia? Memalingkan muka!
Hari ini, hatiku sangat senang, tepat pukul 14.00 aku mendapat berita bahwa sekolahku menang tanding Futsal. Hari ini pula aku tepat pukul 16.00 akan bertemu dengan pengagum rahasia ku di Taman Kota.
***
Entah berapa lama aku harus menunggu di sini. Setiap detik terasa makin cepat bagiku saat ini. Hari pun makin sore, namun belum ada juga seseorang yang menghampiriku sepertinya. Tiba-tiba handphone ku berdering, tanpa pikir panjang, dengan seyakin-yakinnya kujawab.
“halo, ini siapa?” sapaku
“halo”, sapanya balik “cepat Anda menuju ke Rumah Sakit Cendana ruang 8c melati lantai 3.” Suara berat khas laki-laki di ujung sana. Telefon terputus sebelum aku hendak membalas.
Aku bingung dengan semua ini. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke rumah sakit itu. Untungnya letaknya dekat dengan tempatku menunggu. Aku segera berlari menuju pintu rumah sakit setelah turun dari taksi yang tadi kutumpangi itu. Segera aku menuju ruang 8c melati, dan kuketuk. Ternyata apa yang kulihat? Sesosok laki-laki yang tidak kukenal sedang duduk di sebelah seseorang yang terbaring tertutup kain. Kutaksir sekitar 3 tahun usianya diatasku.
“Anda siapa?” tanyaku
“Saya hanya menolong orang ini dan ketika saya tanya siapa keluarganya yang harus dihubungi, dia meminta saya untuk menghubungi seseorang yang bernama “First Time” di kontaknya. Dia juga meminta saya untuk memberikan bungkusan ini untuknya, dan yang aku lihat dia sempat menulis surat juga, untuk Mutia katanya.” Jelas pria itu panjang lebar, lalu ia memberikan bungkusan itu padaku dan lekas pergi meninggalkan ruangan itu.
Kini hanya aku dan seseorang yang terbungkus kain di ruangan itu. Aku masihenggan dan tidak berkeinginan untuk membuka kain itu. Hatiku terasa, entah apa namanya saat itu ketika kubuka bungkusan itu. Kemudian ku melihat sekotak cokelat ditemani dengan setangkai mawar merah tanpa duri. Sepertinya dia cukup telaten untuk membersihkan mawar itu dari duri-durinya. Lalu kubuka suratnya.
Dear, Mutia
Mutia, sebenernya tanganku ini tak mampu menahan lagi hasrat buat memberikan bingkisan ini untukmu. Bibir ini mencair untuk ucapkan sebuah kata cinta untukmu. Tapi, apa mungkin? Apa mungkin aku dapat lakukan semua ini di saat nafas ini terengah? Saat ragaku lemah dan tak mampu bergerak? Saat mulutku membeku seketika?
Bagaimanapun caranya aku ingin kau menerima bingkisan ini meski dari tangan yang berbeda. Sekali lagi maaf telah bersembunyi dari kemelut perasaan yang tertunda.
Maaf pula aku tak dapat menemuimu di tempat yang kujanjikan.
Surat itu terjatuh dari tanganku. Seolah mimpi menghampiriku saat kulihat nama yang tertera di bawah tanda tangan itu, Dyo. Bingkisan yang ku genggam pun ikut terjatuh. Ternyata, julukan First Time adalah seseorang yang juga aku sayang. First Time, karena kami pertama bertemu.
Hatiku yang penasaran mencoba mengembalikan nyali yang koyak dan menciut. Pelan-pelan ku coba membuka kain penutup tersebut. Dan apa kini yang tengah ku lihat? Kulihat dengan jelas paras seorang cowok tepat pada saat bertemu dan bertabrakan di koridor sekolah lalu. Seorang pemain Futsal terpopuler yang bernomor punggung 27. Dyo, ya itu dyo. Tak kuasa diri ini menahan tangis yang telah siap untuk membanjiri ruangan ini. Seorang yang terbujur kaku di hadapanku ini adalah orang yang sangat kudambakan kehadirannya dalam kehidupanku. Seorang Dyo, cuek nan romantis.
Air mataku masih enggan untuk berhenti. Seolah mengerti akan perasaanku kini. Ku lirik meja di sebelah ranjang, ku lihat ada 2 piala yang berdiri tegak diatasnya dan bertuliskan.
“JUARA 1 PERTANDINGAN FUTSAL SE-PULAU JAWA” ku tersenyum melihatnya. Lalu mataku beranjak mengamati tulisan di piala sebelahnya. “PEMAIN FUTSAL TERBAIK”, semakin dalam kini kurasa. Harusnya saat ini, aku dan Dyo berada di Taman Kota, bukan di rumah sakit.
Ternyata, Dyo mengalami kecelakaan saat menuju ke tempat yang dia janjikan, Taman Kota. Dia mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan yang luar biasa, hingga jiwanya harus berpisah dengan raganya.
Aku beranjak berdiri mengambil surat yang tadi terjatuh. Lalu kuambil pulpen yang tersedia di meja bersebelahan dengan piala tadi. Ku tulis di belakang lembar itu.
“You are my first love of my first time”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar